FF CJr: Someone Like You



Tittle                  : SOMEONE LIKE YOU
Cast                    :  - Iqbaal Dhiafakhri
                              -   Bella Graceva
Genre                   : Sad,romance, friendship.
Length                  : 3700words
Warning                 : typo(s), OOC.
Author                  : @ike_amelia13


I heard that you’re
Shuttled down
That you found a girl
And you married now
I heard that you’re dreams came true
Guess she gave you thing
I didn’t give to you



                        Aku tahu. Aku tahu aku hanyalah seorang perempuan bodoh yang terus tersiksa dengan perasaannya sendiri. Terus mengharapkan seseorang yang justru malah menginkanku pergi jika aku datang. Dan aku tahu ini semua egois. Aku tahu tak bisa memaksakan itu. Karena pada dasarnya, aku lebih memilih diam jika ada pertanyaan yang malah mengintimidasiku.

Aku menatap undangan dengan desain elegan yang terlihat sangat cantik dan sangat simple. Sampulnya berwarna ungu dan ada motif bercorak kembang diatasnya. Aku membolak – balikkannya. Tak berani membuka apa isinya. Kalian tahu? Aku sudah menghabiskan sisa sore ku di café ini. Café yang membuat hatiku merasa bahagia selalu dekatnya. Tapi itu dulu.

Hidup memang selalu memandang ke depan. Susah bukan jika melihat kebelakang? Begitu pula aku, Bella. Gadis bodoh yang mengharapkan orang itu datang kembali ke pelukanku. Seorang lelaki yang mampu membuat hatiku berdesir dan oxygen menipis di rongga dadaku.

Old friend
Why are you so shy
It ain’t you to hold back
Or hide from the light

Kesal, kesal dan kesal. Sangat kesal karena dosen yang terus memarahiku dengan tugasku yang selalu salah dimatanya. aku bahkan sudah berulang kali mengedit, mengoreksi, mengerjakan, menghapus, mengganti dan terus berulang - ulang. Memang, aku akui jika aku mengerjakannya dengan gelar mata panda di mataku. Tapi kurasa tugas itu sudah sangat benar menurutku. Apa mataku minus? Aku memang bukan seorang mahasiswa yang pintar dengan nilai IP yang tinggi.
Aku berjalan tak tentu arah dan terus mengumpat pada lembaran kertas yang terus aku pegang, meneliti kesalahan yang tergoreskan tinta pena diatasnya. Aku hendak menuju perpustakaan. Tapi, nalarku tersadar.

Kertas – kertas yang sedari tadi aku pegang itu jatuh berserakan bertebrangan ke udara dan disusul kakiku yang tiba – tiba tergelincir. Sukses membuatku terjatuh, aku berani taruhan aku tidak bisa jalan besok. Karena, encok tiba – tiba saja menyerangku. Dan aku meringis karena mata kakiku yang mengeluarkan darah segar saat menyaruk lantai koridor fakultas.

Sialan.
Siapa yang menumpahkan es ini?
Aku melihat dilantai itu tergenang air berwarna kuning. Aku mengendus dan merasakan baunya, itu teh limun! Apa ada yang sengaja menjebakku. Aku mengacuhkan pandangan ibah dari beberapa mahasiswa yang melintas santai dihadapanku, secara tidak langsung, aku menjadi tontonan gratis.

Aku tersadar kembali saat seseorang membantuku berdiri dan menuntunya dikursi kantin. Oh aku tersadar, ini di depan kantin, pantas saja!
Lelaki itu dengan wajah prihatin meletakkan beberapa lembar kertas dihadapanku. Itu adalah milikku. Apakah ini hanya modus? Beberapa lelaki mengerjakan itu karena hanya satu alasan dan mengelaknya dengan beribu alasan. Memangnya aku apa? #tauMaksudnyaKagak-..-

"Maaf. Gue nggak sengaja. Teh limun gue tumpah dan gue belum sempat ngebersihi di lantai ini." Ujarnya merasa bersalah. Penyesalan sepertinya mengendap diucapannya. Ia menatapku dengan wajahnya yang errr.. tampan. Ku akui memang dia sangat tampan dengan senyuman kekecewaannya. Dahinya yang tertutup poni pendek, hidungnya mancung, mata elangnya yang menawan, pipi nya tirus dan bibirnya tipis menambah sempurna ciptaan tuhan.

Sejenak, aku tersadar dan menunduk. Aku harap dia tak melihatku.

"Apa kakimu sakit? Aku antarkan ke ruang UKS, ya?" tanyanya cemas melihatku meringis sambil mengurut kakiku yang tersambung otot di mata kaki #belibet.

Aku mendongak. Jujur, ini sangat sakit. Tapi aku tak ingin membuang – buang waktu lagi. "Nggak usah." Aku menggeleng dan mencoba tersenyum sebisaku. Rasa perih dikakiku rupanya mengingatkanku segera, berteriak – teriak minta diobati.

"Oh ayolah, Gue rasa pinggang lo encok terus kaki lo ke-kilir." Ujarnya santai. Kemudian membereskan beberapa berkas yang ada dimeja dan memasukkannya ditas punggungnya. Ia menyampirkan tasnya pada pundak kirinya dan mengangkatku secara paksa.

Aku tak bisa mengelak dan menurutinya menuju uks.

Di ruangan ini, aku hanya bisa menatapnya. Tak ada hal lain yang kuperbuat kecuali meringis. Sungguh ini adalah hari sialku! Dimarahi dosen menyebalkan, kaki terkilir, pinggang encok dan kurasa otak kecilku meleleh. Dan yang terakhir, dialah yang mengobatiku. Petugas UKS sudah pulang dan tak ada petugas lain yang menunggunya. Ya, aku tahu. Ini sudah sore.

"Lo nggak papa?" tanyanya membuatku tersadar--lagi. aku mengangguk dan tersenyum melihat mata kakiku terbalut kain kasa dan kapas sebagai bantalannya. Ternyata sudah selesai.

"Makas—" ucapanku berhenti ketika aku ingin menggerakkan kaki ku untuk berdiri, pinggang dan kakiku terasa tak bertulang. Sempat terdengar bunyi ‘kretek’. Lelaki yang ada dihadapanku ini ikut meringis saat mendengarnya.

Ia kemudian menyenderkan punggungku ditembok. Kemudian dengan perlahan—aku sempat meringis—ia menselonjorkan kakiku dipangkuannya saat ia sudah duduk menarik bangku disampingnya.

"Tahan, ya!" Aku memejamkan mata, meringis. Aku tak tahu dan tak ingin tahu apa yang dilakukannya.

Telapak tangannya yang kiri menumpu telapak kakiku. Sedangkan satunya lagi menahan punggung kakiku dengan tangannya ditelentantangkan.

"Aarggh!!" aku menjerit sekuatnya. Kakiku terasa lemas tak bertulang. Kau bayangkan saja kakimu saat terkilir dan langsung ditekuk secara refleks dengan gerakan cepat. Tentu itu rasanya sangat sakit. Terlebih laki luka ditulang mata kakiku tergencet dengan jarinya. Sungguh! Dammit!

Selama aku misuh – misuh dan mengumpat tak jelas dihati sambil meringis. Aku mencoba menggerak – nggerakkan pergelangan kakiku ssetelah ia menyuruhnya. Ohiya, mengapa aku menyebutnya dengan sebutan ‘dia’? karena aku tak tahu namanya.

Aku membuka kelopak mataku perlahan, rasa sakit dikakiku tiba – tiba saja berangsur hilang dan bisa digerakkan. Walaupun hanya menyisakan rasa pedih akibat luka dimata kakiku. Aku lihat lelaki didepanku itu sibuk melihat beberapa lembar kertas yang kurasa itu adalah milikku, ia melihat kertas itu lamat – lamat. Matanya yang hazel itu mengikuti kata yang dibaca.

"Ini salah." Ucapnya sambil menunjuk tulisan di kertas itu. aku tak tahu tulisan apa, Karena tentu saja kertas itu memunggungiku.
"Dan ini."
"Ini Salah."
"Terus yang ini."

Aku hanya diam membiarkannya mengoreksi tulisan cakar ayamku. Aku merutuki diriku sendiri tak memberinya bolpoin. Sungguh sangat bermanfaat bukan jika dia menyoretnya. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya.

"Ternyata yang salah banyak banget. Apa lo nggak bisa ngoreksi kesalahan lo sendiri?" tanyanya menyinggung. Jelas, ini hinaan. Hey! Emangnya kau siapa, ha?!

Aku beranjak turun sembari memegangi pinggangku yang masih terasa sakit. Tuhan, ini sudah seperti wanita hamil!

Mendekatinya, aku menyahut kertas itu secara paksa dan membacanya dengan tatapan mata jengkel.

"Nggak usah berkacak pinggang! Beras mahal." Ia mengingatkan sambil menurunkan tangan kiriku yang ku letakkan membentuk sudut beberapa derajat dipinggang. Aku sontak menoleh dan menatap wajahnya tajam. Enak saja! Apa maksudnya pinggang dengan beras?

Sssh... aku menenangkan diriku sebentar, muak dengan bibirnya yang nyengir menunjukkan behel di giginya. Aku rasa, ini cara yang ampuh untuk membantuku melepas semua rantai dari dosen sialan itu.

"Bisa tolong, lo bantu gue?"

Satu hal yang menurutku ini adalah hari keberuntungan, dimana aku bisa menyelesaikan tugasku secepatnya dan tak mendapat omelan setoran dari dosen killer. Dia, Iqbaal, seorang mahasiswa yang umurnya tidak berbeda jauh dari ku, jurusan sastra yang sama denganku. Ia memperkenalkan diri nya diperpus.

Secara tidak sengaja juga aku terlarut dalam obrolannya. Terasa sangat menyenangkan untukku, menerbangkan beban yang tersarang diotakku saat ini. Sampai larut malam, aku masih berbincang – bincang dengannya diperpus ini. Sambil ia menerangkan beberapa materi yang sampai saat ini belum kumengerti.

Dari wajahnya, ia sangat tampan. Dari pakaiannya, ia sangat rapi. Dari penuturan pembicaraannya pun sangat ramah dan sopan. Aku berani bertaruh dia lelaki baik – baik. Buktinya, dia bertanggung jawab karena kesalahannya tadi siang dan malah dengan senang hati memberiku materi dan membantuku menyelesaikan tugas ku.

Aku pulang dengan motor ninjanya, aku diantarnya sampai depan gerbang. Aku tahu jika Ayahku akan marah – marah memikirkan hal negative dariku. Untuk itu, aku tak menyuruhnya masuk. Dia tersenyum dan mengangguk. Kemudian menggunakan helmnya dan melesat pergi membelah jalan.

Sudah sangat larut, pukul 11. Tadi, setelah puas ia memberiku makanan materi, ternyata perutku manggil – manggil meminta makanan. Kebetulan, Iqbaal mengajakku mampir setelah aku sepakat bahwa aku minta pulang saja.

Tak kusangka, ia malah mengajakku di café. Ia bilang, ia suka sekali dengan es krim. Aku tak tahu apa yang membuatnya suka pada makanan lembut nan dingin itu. yang jelas, aku hanya meladeni perutku yang sudah berkonser ria, aku mengisi perutku dengan nasi goreng yang aku pesan. Es krim tidak membantuku sebagai minuman penutup.

Itu adalah kejadian pertama kalinya aku bertemu dengan sosok laki – laki yang sukses membuat hidupku berbunga – bunga. Aku semakin mengenalnya dan aku malah tergila – gila dengan es krim yang selalu ia makan. Bahkan, aku juga tergila –gila dengan sosok nya. Benarkah?

Aku menepis pikiran konyolku tentangnya, sudah berhari – hari aku mencoba menghilangkah rasa itu. Tapi, yang ada malah rasa itu kembali muncul dihatiku dan menggoyakkan hatiku lagi.

Semakin hari, aku semakin dekat dengan Iqbaal. Dia selalu mengajakku ke perpus setelah jam mata kuliah selesai. Mengajariku dengan materi yang diajarkan. Tentunya dengan beberapa tugas yang kami selesaikan dengan pendapat argument.

Dan sorenya, setelah jam mata kuliah kami selesai, dia mengajakku menuju café langganannya, menawarkan es krim kesukaannya. Rasanya memang berbeda dari yang lain, lebih mencolok ke kopi. Jujur aku malah lebih suka rasa yang seperti ini daripada es krim cokelat, stoberi, dan kawan – kawan—aku tak mau menyebutkannya.

Aku benar – benar mengharapkannya saat itu, aku ingin selalu bersamanya dan aku berharap dia menjadi imamku kelak. Tapi itu tak mungkin.

Suatu hal yang membuatku ingin terbang menuju venus adalah saat ia menanyaiku..hal serius.

"Bella.. gue boleh Tanya sama lo?"
Iqbaal meletakkan sendok digelasnya, ia menatap mataku lamat – lamat. Aku hanya mengangguk gugup. aku rasa, kecepatan es krim meleleh lebih lambat daripada aku sekarang.

"Apa... lo udah punya pacar?" tanyanya serius, tersenyum dan meraih tanganku yang tergeletak dimeja.

Aku gugup, nervous sangatlah menghantuiku. Seperti ada sesuatu yang mengalir dan berdesir lembut dihati. Kau tau? Ini adalah pertama kalinya tanganku disentuh seseorang laki –laki—yang mungkin belum aku izinkan—menyentuhnya.

"Bella?"
tanyanya menyadarkanku. Aku sedari tadi menunduk dan ingin menjawab. Tapi tiba – tiba saja lidahku kelu. Aku sangat berharap lebih. Dan kumohon semuanya benar – benar terjadi setelah cukup banyak waktu yang terlewati aku dengannya.

"Eh? Hm. Gue single." Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya dan menariknya kembali, menyembunyikannya di bawah meja. Secara tidak sengaja bibirku tertarik dan tersenyum salah tingkah. Sshh..

"Whoa?! Sama dong!" jeritnya dengan suara lantang, hampir saja semua pengunjung di café ini melayangkan tatapan aneh padaku dan Iqbaal. Sedangkan Iqbaal hanya nyengir dan tersenyum. Mereka memakluminya.

"Lo bisa kecilin suara lo? Pita suara lo pecah?" tanyaku berbisik, sambil merundukkan wajahku ke arahnya.

Iqbaal menggeleng dan mengulum senyum. "Whoaa!! Gue bahagia, Bella. Lo tahu? Gue seneng banget hari ini." Ujar Iqbaal menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi dan melentangkan tangannya, ia memejamkan mata. Terlihat air mukanya beralih menjadi segar—berbinar. Padahal dari tadi ia hanya dengan tatapan muka aneh—tidak bisa dijelaskan.

"Maksud lo?! Lo seneng gue nggak punya pacar gitu?" Aku mendelik. Aku benar- benar tak tahu tentang itu.

Iqbaal mengangguk dan tersenyum, duduk tegak mendekati wajahku dihadapannya. "Karena kalo gitu, gue nggak bakal jadi PHO dong kalo seandainya lo punya pacar!" iqbaal nyengir.

Pletak!
Dasar!
Aku menjitak keningnya keras, kemudian bersungut – sungut. "Rasain itu!" Umpatku kesal.

Iqbaal hanya nyengir dan mengelus keningnya sambil sesekali meringis.

Aku merasa ada sesuatu yang terpatri dihatiku. Nalarku menyatukan benang – benangnya dan membuatku tersadar. Aku bahkan belum berbalik menanyainya.

I hate to turn up out of the blue
Uninvited
But I couldn’t stay away
I could fight it
I’d hoped you’d see my face
And that you’d be reminded
That for me
It isn’t over


Sudah beberapa minggu aku mengadakan eksperimen, bahkan observasi sendiri terhadap perasaanku. Sungguh konyol bukan? Sangat. Aku tak tahu mengapa melakukannya. Mulai dari saat aku bertemu pertama kali dengannya. Saat Iqbaal berhasil membuatku senyum saat aku terpurukpun. Ia yang selalu disampingku, menangkanku dan membuatku terrsenyum kembali.

Sudah seharian ini, bahkan ini sudah hari ketiga aku tak bertemu Iqbaal di kampus. Nomornya tak aktif dan beberapa akun sosmednya juga dinonaktifkan membuatku lost contact dengannya. Aku sudah menanyakan nya pada beberapa mahasiswa dikelasnya, menanyakannya di organisasi yang ia ikuti. Mencari tahu identitasnya. Aku merindukannya.

Saat aku menuju rumahnya, aku rasakan jantungku berpacu cepat. Dadaku sesak dan entah apa yang tiba – tiba membuat kakiku melemas. Pintu rumahnya tertutup rapat. Tak ada satpam ataupun pembantu. Sepi disekitar pekarangan itu. garasinya juga tertutup. Untung saja gerbangnya terbuka, jadi aku bisa memasukinya tanpa beban.

Berkali – kali aku menekan bel rumah Iqbaal. Tapi tak kunjung terbuka, sudah beberapa aku berteriak kesal mengucapkan salam dan menyebutkan nama Iqbaal. Aku mencoba beberapa kali menghubungi nomor Iqbaal. Siapa tahu setelah tidak aktif berhari – hari, hanphonenya sudah aktif. #Muter-_-

Hanya suara operator yang setia menunjukkan suaranya ditelingaku. Aku berdecak kesal dan kembali menggedor – nggedor pintu rumah Iqbaal. Mungkin aku sudah kelewatan—Seperti maling saja!

Dari arah depan, sosok wanita paruh baya menggunakan daster dan rambutnya yang terikat tergelung(?), ia menghampiriku dengan tatapan kesalnya.

"Maaf mbak, rumah ini udah lama nggak dihuni sama orangnya." Ucapnya kesal. Kurasa aku sudah mengganggu tidur siangnya—dari pakaian yang ia gunakan.

Aku mengangguk – angguk kecewa dan bersalah pada orang yang ada dihadapanku. "Tapi bener, kan, ini rumahnya Iqbaal?"

Mbaknya mengangguk dan menetralkan emosinya, suaranya melembut—beda dari sebelumnya, "Iya, mbak. Sekitar beberapa hari yang lalu mas Iqbaal sama keluarganya pindah."

"Mbak tahu pindah kemana?"

Mbak itu menggeleng. Aku berdecak kesal. Kecewa dan khawatir.
Wanita yang aku panggil mbak itu pergi setelah aku mengucapkan terimakasih. Dan aku juga ikut pergi setelahnya. Aku mengendarai mpv ku menuju cafe. Aku ingin meluapkannya disana.

Selama di perjalanan, otakku selalu berpikir. Memoriku sejak pertama kali bertemu dengannya terulang kembali dan berjalan seperti drama yang ada didashboard kaca mobilku. Aku meneliti setiap perbuatanku. Mungkin ada satu hal yang membuatnya seperti ini. Apa karena ulahku? Tapi apa?

Mungkin benar yang Iqbaal katakan saat aku pertama kali bertemu dengannya; ‘Apa lo nggak bisa ngoreksi kesalahan lo sendiri?’
Aku merutuki kesal, andai saja otakku bisa diajak kompromi untuk berbuat seperti itu. Pasti bukan beban.

Aku terus menunggu dan menunggu, sudah hampir satu bulan aku stress kehilangan Iqbaal. Aku selalu suntuk saat dosen memberikan materi kepadaku dikelas. Rasanya sangat hambar, tak seperti Iqbaal yang mengajariku, secara tidak langsung ia yang memberikan les tambahan untukku.

Never mind I’ll find
Someone like you
I wish nothing but the best for you
Too
Don’t forget me
I beg
I remember you said
Sometimes it last in love
But some times it hurts instead

Saat waktu terus berputar sesuai rotasi, matahari selalu berganti shift dengan bulan. Roda tukang becak yang selalu berjalan *eh kaga ada hubungannya #abaikan. Aku terus merasakan kehilangan setiap detiknya, tulang rusukku merasa keropos tak bisa menyangga tubuhku. Aku selalu berharap, tulang rusukku itu kembali. Tapi hanya satu pertanyaan; kapan?

Aku melajukan MPV ku menuju café yang akhir  - akhir ini selalu aku datangi untuk meluapkan beban di punggungku. Rasa es cappuccino itu seperti tak berbekas, hambar dilidah saat aku selalu mencicipinya. Aku bahkan sering menghabiskan waktu berjam – jam di café, bahkan juga, beberapa waitress dan karyawan disana sudah mengenalku. Aku sempat bercerita pada orang yang menurutku sebayaan denganku.

"Mbak, nggak pulang?" Tanya Salsha, dia salah satu waitress disini. Ia melemparkan pertanyaan saat mengelap meja disampingku.
Aku terlonjak dan tersadar. Sudah hampir malam. Dan café sudah akan ditutup setelah banyak pelanggan yang sepi.

"Mbak, nggak sakit kan? Mbak mukanya pucet banget. " Salsha meletakkan lapnya dan duduk disampingku. Menatapku ibah.

"Enggak." Jawabku lirih, aku tersenyum kecil. "Aku mau pulang aja." Lanjutku kemudian menyampirkan tas dipundak dan berjalan keluar. Salsha hanya tersenyum kecil memaklumiku.

Suatu hal yang sangat membuatku sangat sangat terpuruk adalah saat aku menerima kabar yang juga sangat sangatlah membuat nadiku terputus. Tulang rusukku sepertinya sudah sempurna keropos. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi selain pasrah, dan.. menangis.

Aku menuju taman kampus, menghirup udara segar disaat senja seperti ini. Walaupun air mataku tak bisa diajak kompromi untuk tetap bersembunyi dibalik kelopak, aku tetap melanjutkan aktifitasku disini. Hanya menatap kosong ke arah depan dan tetap menitikkan air mataku. Taman ini sepi, jadi tak ada salahnya jika aku bisa menuliskan sebuah papan peringatan ;area bebas menangis.

Pandanganku beralih pada seorang laki – laki yang menggunakan topi dengan jaket hitam dan celana denimnya. Ia berjalan ke arahku dengan wajah menunduk, aku tak tahu dia siapa. Tiba – tiba saja orang itu menarik tanganku dan terkesan memaksa, memasukkan ku pada mobil yang berada tak jauh dari taman kampus. Ia tak memperdulikan rontaanku dan air mata yang kelepasan jatuh.

"Lepasin gue! Elo siapa, sih? Mau nyulik gue? " tanyaku menjerit dan menghempaskan tangannya. Aku beralih cepat – cepat membuka pintu mobil.
Oh sialan.
Dia sudah menguncinya!
Aku memandang kesal ke arah laki – laki yang ada dihadapanku sambil terus menangis. Meluapkan semua penderitaanku, termasuk salah satunya ini.

Laki – laki itu menyopot jaketnya dan menampakkan kemeja biru cerahnya, selanjutnya mencopot topi yang bertengger di kepalanya. Ia mengibaskan sebentar dan menatap sayu kearahku.

Aku tahu, aku tahu ini hanya sebuah delusi kan? Atau orang ini adalah salah satu kamuflase? Siapapun tolong berhentikan detik ini sekarang juga! Aku ingin terus menatap wajah orang yang selama ini aku rindukan.

"Iqbaal.. " lirihku tertahan, air mataku kembali tertunduk dan aku menunduk. Bahuku terguncang hebat dan aku terus terisak. Aku sudah berada di dekapannya sekarang. Terisak didadanya.

"Iya gue Iqbaal, Bella gue Iqbaal. Maafin gue.. gue udah pergi ninggalin lo.. walaupun gue nggak bisa ngelak kalo gue kangen banget sama lo." Jelas Iqbaal dengan suara lirih. Tangannya mengusap lembut rambutku. Ia memelukku erat seakan ini adalah pelukan terakhir. Aku rasakan hembusan napasnya yang bergemuruh dipuncak kepalaku.

"Jangan tinggalin gue lagi Baal.. gue juga kangen sama lo.." lirihku masih terisak. Iqbaal tak menjawab, ia merenggangkan pelukannya.

Hening. Aku masih tak bertanya apa – apa walaupun pertanyaan itu menjerit ingin keluar dari mulutku. Aku tak tahu rasa apa yang ada dihatiku saat ini. Walaupun air mataku sudah berhenti terjun, aku masih saja merasakan sesak yang malah mengganggu teori pernapasanku.

Iqbaal melajukan mobilnya menuju jalan yang sudah ku hafal. Tentu saja café, café yang sering kita kunjungi saat waktu senggang.
Aku dan Iqbaal memilih duduk di out door. Memesan es krim seperti biasanya kita berdua lakukan. Disini sepi. Peberapa pengunjung memilih di dalam café. Disini—juga, aku rasakan angin dapat mengajak bermain rambutku yang tergerai.

"Aku pengen ngomong sama kamu, Bella." Iqbaal menatapku sayu, tangannya kembali memegang tangan kiriku yang tergeletak bebas dimeja. Persis seperti waktu pertama kali ia memegang tanganku. Dan kurasa, bekasnya masih ada.
Aku – kamu?
Aku meletakkan sendok ice creamku, “I-iya?” aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya penuh antusias, walaupun rasa sesakku kembali menggelayuti dadaku.

“Aku emang udah jatuh cinta sama kamu. Saat pertama kali kamu terpeleset di lantai itu, aku juga terpeleset cinta kamu.” Katanya menggombal, ia terkekeh tertahan. Sementara aku tersenyum samar – samar.

“Dan aku sangat bodoh, nggak bisa ngucapin pertama kali Aku rasa, aku bukan yang terbaik buat kamu. Mungkin kita udah kaya adik sama Kakak ‘kan?” iqbaal kembali terkekeh dan mengusap wajahnya dengan satu tangannya. Ia mengangkat tanganku dan mengecupnya dalam. Ia memejamkan mata.

Aku tak tahu apa yang aku rasakan ketika ia menganggap hubungan ini seperti ‘adik kakak’ aku sangat sakit mendengarnya. Apa mungkin aku salah dengar? Tapi rasa legah kembali menenangkanku saat aliran listrik dari bibir Iqbaal itu melemaskan semua saraf – saraf motorik-ku. Lidahku kelu untuk berkata.

Ia membuka matanya dan menunduk, mengembalikan kembali tanganku, kemudian melepaskannya. Mungkin itu harapannya, tapi aku kembali menggenggamnya kembali dan menggelengkan kepala.

"Jangan bilang kaya gitu Baal.." Iqbaal mengangkat wajahnya dan mengulum senyum kecut. "Aku mau jadi kekasih kamu. Aku harap kamu juga gitu."

Iqbaal malah menggeleng dan menggenggam kedua tanganku erat. Tangisnya pecah dan bahunya terguncang dengan air mata yang masih menetes. Ia menahannya, "A..ku ng-gak bisa. Maafin aku. A-ku dijodohin sama wanita pilihan ayahku. Maaf Bella, ma-af.” Isak Iqbaal tertahan, suaranya tersendat tenggorokanya.

Aku terkesiap, namun sedetik kemudian aku melemas, air mataku kembali mengalir deras. Aku tak tahu apa yang akan ku perbuat selanjutnya. Rasanya itu sangat sakit. Dadaku sakit. Tuhan.. tolong..

“Andai saat itu aku kenalin kamu sama orang tua aku. Aku yakin kamu saat ini udah jadi calon istri aku, Bella” ucap Iqbaal tertatih – tatih. Aku menarik tanganku dan menghapus air mataku dengan punggungku, aku meremas dadaku keras. Sakit yang kurasa.

"Aku bukan calon istrimu. Hahah, aku memang bukan yang terbaik ‘kan buat kamu Baal? Semua pilihan ada ditangan ayahmu. Aku tahu kamu punya hak. Tapi seenggaknya, pilihan yang terbaik adalah pilihan ayahmu dan kedua orang tuamu Baal. Selama dia masih ada, turuti permintaannya." Aku berkata tersengal sengal. Air mataku seakan kehilangan pasokan air-_-

Iqbaal menggeleng dan menunduk, air matanya tertahan serta isakannya.
"Bella..." Iqbaal memohon. Aku tak tahu apa yang dimohonkannya. Aku tersenyum.

"Mungkin itu jalan yang terbaik Baal." Lagi – lagi aku tersenyum walaupun air mataku menetes.

"Aku nikah dua minggu lagi. Aku harap, kamu datang ya?" ia menyodorkan lembaran tebal berwarna ungu, covernya bersampul foto pra weddingnya dengan seorang.. gadis yang menurutku cantik.

"Dia cantik. Aku yakin peringainya juga baik. So, nggak ada yang perlu di khawatirkan lagi. Percayalah!" Ucapku masih tertahan dan mengulum senyum, meletakkan undangan itu dan menepuk – nepuk punggung Iqbaal.

"Aku tahu dan aku percaya. Jodoh pasti bertemu. Mungkin, suatu saat kita bertemu lagi. hahah" Iqbaal menerawang kosong ke dalam mataku dan terkekeh sedih. Ia beranjak dan mendekatiku. Aku berdiri.

"I luv you." Iqbaal mengaku, ia berbisik ditelingaku saat ia memelukku erat, lama. Ia merenggangkan pelukanku dan menangkupkan kedua tangannya dipipiku. Ia tersenyum, mungkin ini adalah perpisahan terakhir sebelum Iqbaal di pingit nanti atau mungkin..selamanya bukan?

"Ya. Too, me too." Balasku tersenyum legah. Aku sudah melakukannya? Secara tidak langsung aku menyatakan perasaanku bukan?

Iqbaal tersenyum dan mengecup keningku lamat – lamat. Aku memejamkan mata, mengingat ternyata ini adalah kamuflase. Sebuah pertemuan singkat yang menjejakkan rasa sakit yang sangat lama terobati.

Iqbaal mengusap pipiku dengan tangan kanannya dan berlalu meninggalkanku. Dengan luka yang perih, mematahkan tulang rusukku, menyesakkan dadaku, menjatuhkanku pada lubang kesengsaraan.

Oh ayolah Bella, apa yang lo pikirin??
Aku berusaha menyemangati diriku dan duduk kembali. Aku menatap datar pada undangan itu. membolak – balikkannya dengan rasa canggung. Aku tak perlu membukanya, kan? Lagian aku nanti juga tahu jika aku mau membukanya. Haha.

Memang, rasa itu tak harus dipaksa. Aku akan menunggu Iqbaal jika ia kembali lagi, dan kurasa, pepatah; Jodoh pasti Bertemu, itu ada benarnya juga. Untuk apa dikejar? Kalau jodoh kan pasti bertemu. Huh.

Aku tersenyum dan perasaan itu tiba  - tiba meluap. Perlahan tapi pasti, rasa sesak didadaku terhujani butiran salju – salju penenang. Angin yang berhembus membantu menenangkan hatiku. Langit yang cerah dan mega merah di ufuk barat sana membantu menyempurnakannya.

Aku tersenyum dan mataku kembali pada semangkuk es krim yang sedari tadi aku pesan. Hey, lihatlah! Es krimnya sudah melumer!


Never mind I’ll find
Someone like you
I wish nothing but the best for you
Too
Don’t forget me
I beg
I remember you said
Sometimes it last in love
But some times it hurts instead

                                                                   ~THE END

 was posted : Ketikan Imajinasiku



Tittle                  : SOMEONE LIKE YOU
Cast                    :  - Iqbaal Dhiafakhri
                              -   Bella Graceva
Genre                   : Sad,romance, friendship.
Length                  : 3700words
Warning                 : typo(s), OOC.
Author                  : @ike_amelia13

I heard that you’re
Shuttled down
That you found a girl
And you married now
I heard that you’re dreams came true
Guess she gave you thing
I didn’t give to you



                        Aku tahu. Aku tahu aku hanyalah seorang perempuan bodoh yang terus tersiksa dengan perasaannya sendiri. Terus mengharapkan seseorang yang justru malah menginkanku pergi jika aku datang. Dan aku tahu ini semua egois. Aku tahu tak bisa memaksakan itu. Karena pada dasarnya, aku lebih memilih diam jika ada pertanyaan yang malah mengintimidasiku.

Aku menatap undangan dengan desain elegan yang terlihat sangat cantik dan sangat simple. Sampulnya berwarna ungu dan ada motif bercorak kembang diatasnya. Aku membolak – balikkannya. Tak berani membuka apa isinya. Kalian tahu? Aku sudah menghabiskan sisa sore ku di café ini. Café yang membuat hatiku merasa bahagia selalu dekatnya. Tapi itu dulu.

Hidup memang selalu memandang ke depan. Susah bukan jika melihat kebelakang? Begitu pula aku, Bella. Gadis bodoh yang mengharapkan orang itu datang kembali ke pelukanku. Seorang lelaki yang mampu membuat hatiku berdesir dan oxygen menipis di rongga dadaku.

Old friend
Why are you so shy
It ain’t you to hold back
Or hide from the light

Kesal, kesal dan kesal. Sangat kesal karena dosen yang terus memarahiku dengan tugasku yang selalu salah dimatanya. aku bahkan sudah berulang kali mengedit, mengoreksi, mengerjakan, menghapus, mengganti dan terus berulang - ulang. Memang, aku akui jika aku mengerjakannya dengan gelar mata panda di mataku. Tapi kurasa tugas itu sudah sangat benar menurutku. Apa mataku minus? Aku memang bukan seorang mahasiswa yang pintar dengan nilai IP yang tinggi.
Aku berjalan tak tentu arah dan terus mengumpat pada lembaran kertas yang terus aku pegang, meneliti kesalahan yang tergoreskan tinta pena diatasnya. Aku hendak menuju perpustakaan. Tapi, nalarku tersadar.

Kertas – kertas yang sedari tadi aku pegang itu jatuh berserakan bertebrangan ke udara dan disusul kakiku yang tiba – tiba tergelincir. Sukses membuatku terjatuh, aku berani taruhan aku tidak bisa jalan besok. Karena, encok tiba – tiba saja menyerangku. Dan aku meringis karena mata kakiku yang mengeluarkan darah segar saat menyaruk lantai koridor fakultas.

Sialan.
Siapa yang menumpahkan es ini?
Aku melihat dilantai itu tergenang air berwarna kuning. Aku mengendus dan merasakan baunya, itu teh limun! Apa ada yang sengaja menjebakku. Aku mengacuhkan pandangan ibah dari beberapa mahasiswa yang melintas santai dihadapanku, secara tidak langsung, aku menjadi tontonan gratis.

Aku tersadar kembali saat seseorang membantuku berdiri dan menuntunya dikursi kantin. Oh aku tersadar, ini di depan kantin, pantas saja!
Lelaki itu dengan wajah prihatin meletakkan beberapa lembar kertas dihadapanku. Itu adalah milikku. Apakah ini hanya modus? Beberapa lelaki mengerjakan itu karena hanya satu alasan dan mengelaknya dengan beribu alasan. Memangnya aku apa? #tauMaksudnyaKagak-..-

"Maaf. Gue nggak sengaja. Teh limun gue tumpah dan gue belum sempat ngebersihi di lantai ini." Ujarnya merasa bersalah. Penyesalan sepertinya mengendap diucapannya. Ia menatapku dengan wajahnya yang errr.. tampan. Ku akui memang dia sangat tampan dengan senyuman kekecewaannya. Dahinya yang tertutup poni pendek, hidungnya mancung, mata elangnya yang menawan, pipi nya tirus dan bibirnya tipis menambah sempurna ciptaan tuhan.

Sejenak, aku tersadar dan menunduk. Aku harap dia tak melihatku.

"Apa kakimu sakit? Aku antarkan ke ruang UKS, ya?" tanyanya cemas melihatku meringis sambil mengurut kakiku yang tersambung otot di mata kaki #belibet.

Aku mendongak. Jujur, ini sangat sakit. Tapi aku tak ingin membuang – buang waktu lagi. "Nggak usah." Aku menggeleng dan mencoba tersenyum sebisaku. Rasa perih dikakiku rupanya mengingatkanku segera, berteriak – teriak minta diobati.

"Oh ayolah, Gue rasa pinggang lo encok terus kaki lo ke-kilir." Ujarnya santai. Kemudian membereskan beberapa berkas yang ada dimeja dan memasukkannya ditas punggungnya. Ia menyampirkan tasnya pada pundak kirinya dan mengangkatku secara paksa.

Aku tak bisa mengelak dan menurutinya menuju uks.

Di ruangan ini, aku hanya bisa menatapnya. Tak ada hal lain yang kuperbuat kecuali meringis. Sungguh ini adalah hari sialku! Dimarahi dosen menyebalkan, kaki terkilir, pinggang encok dan kurasa otak kecilku meleleh. Dan yang terakhir, dialah yang mengobatiku. Petugas UKS sudah pulang dan tak ada petugas lain yang menunggunya. Ya, aku tahu. Ini sudah sore.

"Lo nggak papa?" tanyanya membuatku tersadar--lagi. aku mengangguk dan tersenyum melihat mata kakiku terbalut kain kasa dan kapas sebagai bantalannya. Ternyata sudah selesai.

"Makas—" ucapanku berhenti ketika aku ingin menggerakkan kaki ku untuk berdiri, pinggang dan kakiku terasa tak bertulang. Sempat terdengar bunyi ‘kretek’. Lelaki yang ada dihadapanku ini ikut meringis saat mendengarnya.

Ia kemudian menyenderkan punggungku ditembok. Kemudian dengan perlahan—aku sempat meringis—ia menselonjorkan kakiku dipangkuannya saat ia sudah duduk menarik bangku disampingnya.

"Tahan, ya!" Aku memejamkan mata, meringis. Aku tak tahu dan tak ingin tahu apa yang dilakukannya.

Telapak tangannya yang kiri menumpu telapak kakiku. Sedangkan satunya lagi menahan punggung kakiku dengan tangannya ditelentantangkan.

"Aarggh!!" aku menjerit sekuatnya. Kakiku terasa lemas tak bertulang. Kau bayangkan saja kakimu saat terkilir dan langsung ditekuk secara refleks dengan gerakan cepat. Tentu itu rasanya sangat sakit. Terlebih laki luka ditulang mata kakiku tergencet dengan jarinya. Sungguh! Dammit!

Selama aku misuh – misuh dan mengumpat tak jelas dihati sambil meringis. Aku mencoba menggerak – nggerakkan pergelangan kakiku ssetelah ia menyuruhnya. Ohiya, mengapa aku menyebutnya dengan sebutan ‘dia’? karena aku tak tahu namanya.

Aku membuka kelopak mataku perlahan, rasa sakit dikakiku tiba – tiba saja berangsur hilang dan bisa digerakkan. Walaupun hanya menyisakan rasa pedih akibat luka dimata kakiku. Aku lihat lelaki didepanku itu sibuk melihat beberapa lembar kertas yang kurasa itu adalah milikku, ia melihat kertas itu lamat – lamat. Matanya yang hazel itu mengikuti kata yang dibaca.

"Ini salah." Ucapnya sambil menunjuk tulisan di kertas itu. aku tak tahu tulisan apa, Karena tentu saja kertas itu memunggungiku.
"Dan ini."
"Ini Salah."
"Terus yang ini."

Aku hanya diam membiarkannya mengoreksi tulisan cakar ayamku. Aku merutuki diriku sendiri tak memberinya bolpoin. Sungguh sangat bermanfaat bukan jika dia menyoretnya. Aku tak pernah melihatnya sebelumnya.

"Ternyata yang salah banyak banget. Apa lo nggak bisa ngoreksi kesalahan lo sendiri?" tanyanya menyinggung. Jelas, ini hinaan. Hey! Emangnya kau siapa, ha?!

Aku beranjak turun sembari memegangi pinggangku yang masih terasa sakit. Tuhan, ini sudah seperti wanita hamil!

Mendekatinya, aku menyahut kertas itu secara paksa dan membacanya dengan tatapan mata jengkel.

"Nggak usah berkacak pinggang! Beras mahal." Ia mengingatkan sambil menurunkan tangan kiriku yang ku letakkan membentuk sudut beberapa derajat dipinggang. Aku sontak menoleh dan menatap wajahnya tajam. Enak saja! Apa maksudnya pinggang dengan beras?

Sssh... aku menenangkan diriku sebentar, muak dengan bibirnya yang nyengir menunjukkan behel di giginya. Aku rasa, ini cara yang ampuh untuk membantuku melepas semua rantai dari dosen sialan itu.

"Bisa tolong, lo bantu gue?"

Satu hal yang menurutku ini adalah hari keberuntungan, dimana aku bisa menyelesaikan tugasku secepatnya dan tak mendapat omelan setoran dari dosen killer. Dia, Iqbaal, seorang mahasiswa yang umurnya tidak berbeda jauh dari ku, jurusan sastra yang sama denganku. Ia memperkenalkan diri nya diperpus.

Secara tidak sengaja juga aku terlarut dalam obrolannya. Terasa sangat menyenangkan untukku, menerbangkan beban yang tersarang diotakku saat ini. Sampai larut malam, aku masih berbincang – bincang dengannya diperpus ini. Sambil ia menerangkan beberapa materi yang sampai saat ini belum kumengerti.

Dari wajahnya, ia sangat tampan. Dari pakaiannya, ia sangat rapi. Dari penuturan pembicaraannya pun sangat ramah dan sopan. Aku berani bertaruh dia lelaki baik – baik. Buktinya, dia bertanggung jawab karena kesalahannya tadi siang dan malah dengan senang hati memberiku materi dan membantuku menyelesaikan tugas ku.

Aku pulang dengan motor ninjanya, aku diantarnya sampai depan gerbang. Aku tahu jika Ayahku akan marah – marah memikirkan hal negative dariku. Untuk itu, aku tak menyuruhnya masuk. Dia tersenyum dan mengangguk. Kemudian menggunakan helmnya dan melesat pergi membelah jalan.

Sudah sangat larut, pukul 11. Tadi, setelah puas ia memberiku makanan materi, ternyata perutku manggil – manggil meminta makanan. Kebetulan, Iqbaal mengajakku mampir setelah aku sepakat bahwa aku minta pulang saja.

Tak kusangka, ia malah mengajakku di café. Ia bilang, ia suka sekali dengan es krim. Aku tak tahu apa yang membuatnya suka pada makanan lembut nan dingin itu. yang jelas, aku hanya meladeni perutku yang sudah berkonser ria, aku mengisi perutku dengan nasi goreng yang aku pesan. Es krim tidak membantuku sebagai minuman penutup.

Itu adalah kejadian pertama kalinya aku bertemu dengan sosok laki – laki yang sukses membuat hidupku berbunga – bunga. Aku semakin mengenalnya dan aku malah tergila – gila dengan es krim yang selalu ia makan. Bahkan, aku juga tergila –gila dengan sosok nya. Benarkah?

Aku menepis pikiran konyolku tentangnya, sudah berhari – hari aku mencoba menghilangkah rasa itu. Tapi, yang ada malah rasa itu kembali muncul dihatiku dan menggoyakkan hatiku lagi.

Semakin hari, aku semakin dekat dengan Iqbaal. Dia selalu mengajakku ke perpus setelah jam mata kuliah selesai. Mengajariku dengan materi yang diajarkan. Tentunya dengan beberapa tugas yang kami selesaikan dengan pendapat argument.

Dan sorenya, setelah jam mata kuliah kami selesai, dia mengajakku menuju café langganannya, menawarkan es krim kesukaannya. Rasanya memang berbeda dari yang lain, lebih mencolok ke kopi. Jujur aku malah lebih suka rasa yang seperti ini daripada es krim cokelat, stoberi, dan kawan – kawan—aku tak mau menyebutkannya.

Aku benar – benar mengharapkannya saat itu, aku ingin selalu bersamanya dan aku berharap dia menjadi imamku kelak. Tapi itu tak mungkin.

Suatu hal yang membuatku ingin terbang menuju venus adalah saat ia menanyaiku..hal serius.

"Bella.. gue boleh Tanya sama lo?"
Iqbaal meletakkan sendok digelasnya, ia menatap mataku lamat – lamat. Aku hanya mengangguk gugup. aku rasa, kecepatan es krim meleleh lebih lambat daripada aku sekarang.

"Apa... lo udah punya pacar?" tanyanya serius, tersenyum dan meraih tanganku yang tergeletak dimeja.

Aku gugup, nervous sangatlah menghantuiku. Seperti ada sesuatu yang mengalir dan berdesir lembut dihati. Kau tau? Ini adalah pertama kalinya tanganku disentuh seseorang laki –laki—yang mungkin belum aku izinkan—menyentuhnya.

"Bella?"
tanyanya menyadarkanku. Aku sedari tadi menunduk dan ingin menjawab. Tapi tiba – tiba saja lidahku kelu. Aku sangat berharap lebih. Dan kumohon semuanya benar – benar terjadi setelah cukup banyak waktu yang terlewati aku dengannya.

"Eh? Hm. Gue single." Aku berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya dan menariknya kembali, menyembunyikannya di bawah meja. Secara tidak sengaja bibirku tertarik dan tersenyum salah tingkah. Sshh..

"Whoa?! Sama dong!" jeritnya dengan suara lantang, hampir saja semua pengunjung di café ini melayangkan tatapan aneh padaku dan Iqbaal. Sedangkan Iqbaal hanya nyengir dan tersenyum. Mereka memakluminya.

"Lo bisa kecilin suara lo? Pita suara lo pecah?" tanyaku berbisik, sambil merundukkan wajahku ke arahnya.

Iqbaal menggeleng dan mengulum senyum. "Whoaa!! Gue bahagia, Bella. Lo tahu? Gue seneng banget hari ini." Ujar Iqbaal menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi dan melentangkan tangannya, ia memejamkan mata. Terlihat air mukanya beralih menjadi segar—berbinar. Padahal dari tadi ia hanya dengan tatapan muka aneh—tidak bisa dijelaskan.

"Maksud lo?! Lo seneng gue nggak punya pacar gitu?" Aku mendelik. Aku benar- benar tak tahu tentang itu.

Iqbaal mengangguk dan tersenyum, duduk tegak mendekati wajahku dihadapannya. "Karena kalo gitu, gue nggak bakal jadi PHO dong kalo seandainya lo punya pacar!" iqbaal nyengir.

Pletak!
Dasar!
Aku menjitak keningnya keras, kemudian bersungut – sungut. "Rasain itu!" Umpatku kesal.

Iqbaal hanya nyengir dan mengelus keningnya sambil sesekali meringis.

Aku merasa ada sesuatu yang terpatri dihatiku. Nalarku menyatukan benang – benangnya dan membuatku tersadar. Aku bahkan belum berbalik menanyainya.

I hate to turn up out of the blue
Uninvited
But I couldn’t stay away
I could fight it
I’d hoped you’d see my face
And that you’d be reminded
That for me
It isn’t over


Sudah beberapa minggu aku mengadakan eksperimen, bahkan observasi sendiri terhadap perasaanku. Sungguh konyol bukan? Sangat. Aku tak tahu mengapa melakukannya. Mulai dari saat aku bertemu pertama kali dengannya. Saat Iqbaal berhasil membuatku senyum saat aku terpurukpun. Ia yang selalu disampingku, menangkanku dan membuatku terrsenyum kembali.

Sudah seharian ini, bahkan ini sudah hari ketiga aku tak bertemu Iqbaal di kampus. Nomornya tak aktif dan beberapa akun sosmednya juga dinonaktifkan membuatku lost contact dengannya. Aku sudah menanyakan nya pada beberapa mahasiswa dikelasnya, menanyakannya di organisasi yang ia ikuti. Mencari tahu identitasnya. Aku merindukannya.

Saat aku menuju rumahnya, aku rasakan jantungku berpacu cepat. Dadaku sesak dan entah apa yang tiba – tiba membuat kakiku melemas. Pintu rumahnya tertutup rapat. Tak ada satpam ataupun pembantu. Sepi disekitar pekarangan itu. garasinya juga tertutup. Untung saja gerbangnya terbuka, jadi aku bisa memasukinya tanpa beban.

Berkali – kali aku menekan bel rumah Iqbaal. Tapi tak kunjung terbuka, sudah beberapa aku berteriak kesal mengucapkan salam dan menyebutkan nama Iqbaal. Aku mencoba beberapa kali menghubungi nomor Iqbaal. Siapa tahu setelah tidak aktif berhari – hari, hanphonenya sudah aktif. #Muter-_-

Hanya suara operator yang setia menunjukkan suaranya ditelingaku. Aku berdecak kesal dan kembali menggedor – nggedor pintu rumah Iqbaal. Mungkin aku sudah kelewatan—Seperti maling saja!

Dari arah depan, sosok wanita paruh baya menggunakan daster dan rambutnya yang terikat tergelung(?), ia menghampiriku dengan tatapan kesalnya.

"Maaf mbak, rumah ini udah lama nggak dihuni sama orangnya." Ucapnya kesal. Kurasa aku sudah mengganggu tidur siangnya—dari pakaian yang ia gunakan.

Aku mengangguk – angguk kecewa dan bersalah pada orang yang ada dihadapanku. "Tapi bener, kan, ini rumahnya Iqbaal?"

Mbaknya mengangguk dan menetralkan emosinya, suaranya melembut—beda dari sebelumnya, "Iya, mbak. Sekitar beberapa hari yang lalu mas Iqbaal sama keluarganya pindah."

"Mbak tahu pindah kemana?"

Mbak itu menggeleng. Aku berdecak kesal. Kecewa dan khawatir.
Wanita yang aku panggil mbak itu pergi setelah aku mengucapkan terimakasih. Dan aku juga ikut pergi setelahnya. Aku mengendarai mpv ku menuju cafe. Aku ingin meluapkannya disana.

Selama di perjalanan, otakku selalu berpikir. Memoriku sejak pertama kali bertemu dengannya terulang kembali dan berjalan seperti drama yang ada didashboard kaca mobilku. Aku meneliti setiap perbuatanku. Mungkin ada satu hal yang membuatnya seperti ini. Apa karena ulahku? Tapi apa?

Mungkin benar yang Iqbaal katakan saat aku pertama kali bertemu dengannya; ‘Apa lo nggak bisa ngoreksi kesalahan lo sendiri?’
Aku merutuki kesal, andai saja otakku bisa diajak kompromi untuk berbuat seperti itu. Pasti bukan beban.

Aku terus menunggu dan menunggu, sudah hampir satu bulan aku stress kehilangan Iqbaal. Aku selalu suntuk saat dosen memberikan materi kepadaku dikelas. Rasanya sangat hambar, tak seperti Iqbaal yang mengajariku, secara tidak langsung ia yang memberikan les tambahan untukku.

Never mind I’ll find
Someone like you
I wish nothing but the best for you
Too
Don’t forget me
I beg
I remember you said
Sometimes it last in love
But some times it hurts instead

Saat waktu terus berputar sesuai rotasi, matahari selalu berganti shift dengan bulan. Roda tukang becak yang selalu berjalan *eh kaga ada hubungannya #abaikan. Aku terus merasakan kehilangan setiap detiknya, tulang rusukku merasa keropos tak bisa menyangga tubuhku. Aku selalu berharap, tulang rusukku itu kembali. Tapi hanya satu pertanyaan; kapan?

Aku melajukan MPV ku menuju café yang akhir  - akhir ini selalu aku datangi untuk meluapkan beban di punggungku. Rasa es cappuccino itu seperti tak berbekas, hambar dilidah saat aku selalu mencicipinya. Aku bahkan sering menghabiskan waktu berjam – jam di café, bahkan juga, beberapa waitress dan karyawan disana sudah mengenalku. Aku sempat bercerita pada orang yang menurutku sebayaan denganku.

"Mbak, nggak pulang?" Tanya Salsha, dia salah satu waitress disini. Ia melemparkan pertanyaan saat mengelap meja disampingku.
Aku terlonjak dan tersadar. Sudah hampir malam. Dan café sudah akan ditutup setelah banyak pelanggan yang sepi.

"Mbak, nggak sakit kan? Mbak mukanya pucet banget. " Salsha meletakkan lapnya dan duduk disampingku. Menatapku ibah.

"Enggak." Jawabku lirih, aku tersenyum kecil. "Aku mau pulang aja." Lanjutku kemudian menyampirkan tas dipundak dan berjalan keluar. Salsha hanya tersenyum kecil memaklumiku.

Suatu hal yang sangat membuatku sangat sangat terpuruk adalah saat aku menerima kabar yang juga sangat sangatlah membuat nadiku terputus. Tulang rusukku sepertinya sudah sempurna keropos. Aku tak tahu harus berbuat apa lagi selain pasrah, dan.. menangis.

Aku menuju taman kampus, menghirup udara segar disaat senja seperti ini. Walaupun air mataku tak bisa diajak kompromi untuk tetap bersembunyi dibalik kelopak, aku tetap melanjutkan aktifitasku disini. Hanya menatap kosong ke arah depan dan tetap menitikkan air mataku. Taman ini sepi, jadi tak ada salahnya jika aku bisa menuliskan sebuah papan peringatan ;area bebas menangis.

Pandanganku beralih pada seorang laki – laki yang menggunakan topi dengan jaket hitam dan celana denimnya. Ia berjalan ke arahku dengan wajah menunduk, aku tak tahu dia siapa. Tiba – tiba saja orang itu menarik tanganku dan terkesan memaksa, memasukkan ku pada mobil yang berada tak jauh dari taman kampus. Ia tak memperdulikan rontaanku dan air mata yang kelepasan jatuh.

"Lepasin gue! Elo siapa, sih? Mau nyulik gue? " tanyaku menjerit dan menghempaskan tangannya. Aku beralih cepat – cepat membuka pintu mobil.
Oh sialan.
Dia sudah menguncinya!
Aku memandang kesal ke arah laki – laki yang ada dihadapanku sambil terus menangis. Meluapkan semua penderitaanku, termasuk salah satunya ini.

Laki – laki itu menyopot jaketnya dan menampakkan kemeja biru cerahnya, selanjutnya mencopot topi yang bertengger di kepalanya. Ia mengibaskan sebentar dan menatap sayu kearahku.

Aku tahu, aku tahu ini hanya sebuah delusi kan? Atau orang ini adalah salah satu kamuflase? Siapapun tolong berhentikan detik ini sekarang juga! Aku ingin terus menatap wajah orang yang selama ini aku rindukan.

"Iqbaal.. " lirihku tertahan, air mataku kembali tertunduk dan aku menunduk. Bahuku terguncang hebat dan aku terus terisak. Aku sudah berada di dekapannya sekarang. Terisak didadanya.

"Iya gue Iqbaal, Bella gue Iqbaal. Maafin gue.. gue udah pergi ninggalin lo.. walaupun gue nggak bisa ngelak kalo gue kangen banget sama lo." Jelas Iqbaal dengan suara lirih. Tangannya mengusap lembut rambutku. Ia memelukku erat seakan ini adalah pelukan terakhir. Aku rasakan hembusan napasnya yang bergemuruh dipuncak kepalaku.

"Jangan tinggalin gue lagi Baal.. gue juga kangen sama lo.." lirihku masih terisak. Iqbaal tak menjawab, ia merenggangkan pelukannya.

Hening. Aku masih tak bertanya apa – apa walaupun pertanyaan itu menjerit ingin keluar dari mulutku. Aku tak tahu rasa apa yang ada dihatiku saat ini. Walaupun air mataku sudah berhenti terjun, aku masih saja merasakan sesak yang malah mengganggu teori pernapasanku.

Iqbaal melajukan mobilnya menuju jalan yang sudah ku hafal. Tentu saja café, café yang sering kita kunjungi saat waktu senggang.
Aku dan Iqbaal memilih duduk di out door. Memesan es krim seperti biasanya kita berdua lakukan. Disini sepi. Peberapa pengunjung memilih di dalam café. Disini—juga, aku rasakan angin dapat mengajak bermain rambutku yang tergerai.

"Aku pengen ngomong sama kamu, Bella." Iqbaal menatapku sayu, tangannya kembali memegang tangan kiriku yang tergeletak bebas dimeja. Persis seperti waktu pertama kali ia memegang tanganku. Dan kurasa, bekasnya masih ada.
Aku – kamu?
Aku meletakkan sendok ice creamku, “I-iya?” aku mendongakkan kepalaku dan menatapnya penuh antusias, walaupun rasa sesakku kembali menggelayuti dadaku.

“Aku emang udah jatuh cinta sama kamu. Saat pertama kali kamu terpeleset di lantai itu, aku juga terpeleset cinta kamu.” Katanya menggombal, ia terkekeh tertahan. Sementara aku tersenyum samar – samar.

“Dan aku sangat bodoh, nggak bisa ngucapin pertama kali Aku rasa, aku bukan yang terbaik buat kamu. Mungkin kita udah kaya adik sama Kakak ‘kan?” iqbaal kembali terkekeh dan mengusap wajahnya dengan satu tangannya. Ia mengangkat tanganku dan mengecupnya dalam. Ia memejamkan mata.

Aku tak tahu apa yang aku rasakan ketika ia menganggap hubungan ini seperti ‘adik kakak’ aku sangat sakit mendengarnya. Apa mungkin aku salah dengar? Tapi rasa legah kembali menenangkanku saat aliran listrik dari bibir Iqbaal itu melemaskan semua saraf – saraf motorik-ku. Lidahku kelu untuk berkata.

Ia membuka matanya dan menunduk, mengembalikan kembali tanganku, kemudian melepaskannya. Mungkin itu harapannya, tapi aku kembali menggenggamnya kembali dan menggelengkan kepala.

"Jangan bilang kaya gitu Baal.." Iqbaal mengangkat wajahnya dan mengulum senyum kecut. "Aku mau jadi kekasih kamu. Aku harap kamu juga gitu."

Iqbaal malah menggeleng dan menggenggam kedua tanganku erat. Tangisnya pecah dan bahunya terguncang dengan air mata yang masih menetes. Ia menahannya, "A..ku ng-gak bisa. Maafin aku. A-ku dijodohin sama wanita pilihan ayahku. Maaf Bella, ma-af.” Isak Iqbaal tertahan, suaranya tersendat tenggorokanya.

Aku terkesiap, namun sedetik kemudian aku melemas, air mataku kembali mengalir deras. Aku tak tahu apa yang akan ku perbuat selanjutnya. Rasanya itu sangat sakit. Dadaku sakit. Tuhan.. tolong..

“Andai saat itu aku kenalin kamu sama orang tua aku. Aku yakin kamu saat ini udah jadi calon istri aku, Bella” ucap Iqbaal tertatih – tatih. Aku menarik tanganku dan menghapus air mataku dengan punggungku, aku meremas dadaku keras. Sakit yang kurasa.

"Aku bukan calon istrimu. Hahah, aku memang bukan yang terbaik ‘kan buat kamu Baal? Semua pilihan ada ditangan ayahmu. Aku tahu kamu punya hak. Tapi seenggaknya, pilihan yang terbaik adalah pilihan ayahmu dan kedua orang tuamu Baal. Selama dia masih ada, turuti permintaannya." Aku berkata tersengal sengal. Air mataku seakan kehilangan pasokan air-_-

Iqbaal menggeleng dan menunduk, air matanya tertahan serta isakannya.
"Bella..." Iqbaal memohon. Aku tak tahu apa yang dimohonkannya. Aku tersenyum.

"Mungkin itu jalan yang terbaik Baal." Lagi – lagi aku tersenyum walaupun air mataku menetes.

"Aku nikah dua minggu lagi. Aku harap, kamu datang ya?" ia menyodorkan lembaran tebal berwarna ungu, covernya bersampul foto pra weddingnya dengan seorang.. gadis yang menurutku cantik.

"Dia cantik. Aku yakin peringainya juga baik. So, nggak ada yang perlu di khawatirkan lagi. Percayalah!" Ucapku masih tertahan dan mengulum senyum, meletakkan undangan itu dan menepuk – nepuk punggung Iqbaal.

"Aku tahu dan aku percaya. Jodoh pasti bertemu. Mungkin, suatu saat kita bertemu lagi. hahah" Iqbaal menerawang kosong ke dalam mataku dan terkekeh sedih. Ia beranjak dan mendekatiku. Aku berdiri.

"I luv you." Iqbaal mengaku, ia berbisik ditelingaku saat ia memelukku erat, lama. Ia merenggangkan pelukanku dan menangkupkan kedua tangannya dipipiku. Ia tersenyum, mungkin ini adalah perpisahan terakhir sebelum Iqbaal di pingit nanti atau mungkin..selamanya bukan?

"Ya. Too, me too." Balasku tersenyum legah. Aku sudah melakukannya? Secara tidak langsung aku menyatakan perasaanku bukan?

Iqbaal tersenyum dan mengecup keningku lamat – lamat. Aku memejamkan mata, mengingat ternyata ini adalah kamuflase. Sebuah pertemuan singkat yang menjejakkan rasa sakit yang sangat lama terobati.

Iqbaal mengusap pipiku dengan tangan kanannya dan berlalu meninggalkanku. Dengan luka yang perih, mematahkan tulang rusukku, menyesakkan dadaku, menjatuhkanku pada lubang kesengsaraan.

Oh ayolah Bella, apa yang lo pikirin??
Aku berusaha menyemangati diriku dan duduk kembali. Aku menatap datar pada undangan itu. membolak – balikkannya dengan rasa canggung. Aku tak perlu membukanya, kan? Lagian aku nanti juga tahu jika aku mau membukanya. Haha.

Memang, rasa itu tak harus dipaksa. Aku akan menunggu Iqbaal jika ia kembali lagi, dan kurasa, pepatah; Jodoh pasti Bertemu, itu ada benarnya juga. Untuk apa dikejar? Kalau jodoh kan pasti bertemu. Huh.

Aku tersenyum dan perasaan itu tiba  - tiba meluap. Perlahan tapi pasti, rasa sesak didadaku terhujani butiran salju – salju penenang. Angin yang berhembus membantu menenangkan hatiku. Langit yang cerah dan mega merah di ufuk barat sana membantu menyempurnakannya.

Aku tersenyum dan mataku kembali pada semangkuk es krim yang sedari tadi aku pesan. Hey, lihatlah! Es krimnya sudah melumer!


Never mind I’ll find
Someone like you
I wish nothing but the best for you
Too
Don’t forget me
I beg
I remember you said
Sometimes it last in love
But some times it hurts instead

                                                                   ~THE END

 was posted : Ketikan Imajinasiku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wattpad dan Penulisnya

[Rekomendasi] Review Novel Teenlit: Well Smile dari A Song for Alexa

Rekomendasi Cerita (r: Penulis) Wattpad 2016