1. Dia
Dia
Wed, 25 march 2015
13:58 wib
By Ike Amelias
Bunyi bel
merasuk ke seluruh penjuru ruangan. Semua di perdengarkan, semua di selamatkan, dan semua di legakan.
Banyak orang berhamburan keluar dengan napas lega, raut wajahnya berbinar-binar
di terpa surya. Beberapa di antaranya
langsung menuju tempat dimana besi baja mereka terbaris rapi, ada yang menapaki
jalan, berhenti di halte, dan diantaranya bergerombol dengan sesama seragam.
Dan salah
satu diantara mereka, berdiri seorang perempuan berseragam. Peluhnya meluncur,
tubuhnya terasa panas seakan ia meleleh saat itu juga, walaupun kadang sang
bayu menerpanya. Kakinya berjelujur tegak dipinggir trotoar, sedangkan matanya
menatap seseorang dari kejauhan.
Dan…
Kaki itu
tetap di titiknya.
Abang-abang
penjual sudah menutup payungnya, menge-gas motornya, melaju pergi bergabung
dengan jalan raya. Dirgantara berarak, surya tak nampak. Sekolah sepi, gerbang
sudah ditutup. Sekarang halte di huni oleh manusia berkaus kumal, tersampir
karung goni berukuran penuh di pundaknya. Seolah manusia itu ditakuti, tak ada
seorang pun yang mendekat.
Tapi, ia
masih bertahan disana. Entah menunggu apa. Sang bayu, sang surya, sang
dirgantara, dan ia pun tak tahu.
Dan…
Mata itu tetap pada objeknya.
Objek itu…
Dia.
Dia yang masih berdiri disana. Orang asing, dengan badge seragam yang sama. Tapi Tak ada
yang mendekatinya. Tak ada yang berdiri di sampingnya. Seolah tubuhnya
memancarkan sesuatu. Sesuatu kekebalan tubuhkah? Kekuasaankah?
Dia…
Dingin…
Mengalahkan sang bayu….
Tapi, seakan semua itu berbalik ke padanya.
“Anja!”
Hingga…
Panggilan sopran menyadarkannya.
Lalu matanya teralihkan. Kakinya
bergegas menuju sumber suara. Menuju arah yang berlawanan.
Dan dia sudah menghilang.
Komentar
Posting Komentar