2. Disudut Sana!
Ctak! Baling kipasnya
bergerak begitu aku menekan saklar. semakin lama, semakin kencang. Aku tidak
bisa mengatur kecepatannya, kipas ini hanya terdiri dari baling baling,
menggantung pada kawat besi yang melilitnya di langit kamar.
Ku merebah, bantal yang
keras menyapa kepalaku. Ku memicing, meraup bunga mimpi. Tapi itu tak berapa
lama. Bunyi kipas yang tadinya bergerak kencang mengiringi tidurku kini
berbunyi keras. Ctak! Ctak! Ctak!
Ku terjaga. Balingnya menyenggol kabel yang
tak sengaja menggantung. Baling-baling kipasnya macet. Tak berputar seperti
porosnya.
Ku terbangun, menghampiri
saklar dan mematikannya. Baling-balingnya langsung terhenti. Ku tarik kabel
yang menggantung, dan lampunya mati, tersenggol kabel yang ku tarik. Ku tekan
saklar lampu dan sekilas bayangan merayap di mataku.
Dia ada disana, tidak terlihat,
di sudut kegelapan kamar. Hanya seberkas cahaya putih lusuh, tak jelas.
Aku tak tahu harus
berbahagia, atau harus bersedih. Aku merasakan tubuhku gemetaran, tapi sarafku
mengarahkan untuk bergerak menuju ke sudut.
Tapi baling-baling kipas
berderak cepat, berputar. Lampu menyala tiba tiba.
Aku ternganga. Ku menatap
sudut kamar dengan mata terbelalak. Sarafku seperti lumpuh. Seperti dugaanku
dia tidak ada disana.
Aku mencoba memicing lagi,
lalu meringkuk menyamai janin. Aku lelah, barangkali aku harus memeriksakan
mataku. Apakah silinder Ayah menurun padaku?
Senin, 29-06-15
21:45 wib
Copyright Ike Amelias
Komentar
Posting Komentar